
API obor acap hadir dalam rangkaian acara pembukaan sebuah momen. Tanpa obor, even sekelas olimpiade dirasa tak lengkap. Salah satu sumber api abadi yang digunakan dalam perhelatan Asian Beach Games (ABG) I di Bali belum lama ini misalnya berasal dari Desa Mrapen.
Mrapen adalah nama dusun seluas sekitar 8.600 meter persegi. Terletak di pinggir jalan raya Semarang-Purwodadi, 36 km dari Semarang dan termasuk wilayah Desa Manggarmas, Kecamatan, Grobogan, Jawa Tengah.
Menuju Mrapen, saya harus melewati jalan berliku. Setelah menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam dari Semarang, bersama rombongan akhirnya tibalah saya di dusun itu. Suasana ramai. Umbul-umbul ABG bertajuk Inspire The World tampak semarak di sisi kiri dan kanan jalan.
Warga sekitar berkerumun.
Ada sebuah kolam kecil berwarna kuning. Airnya tampak meletup-letup seakan mendidih. Namun, setelah saya coba mencelupkan tangan ke dalamnya, airnyata ternyata tak terasa panas sama sekali. Sebaliknya, sejuk.
Tak jauh dari kolam kecil itu ada setumpuk batu. Batu itulah sumber api abadi. Makin dekat, makin panas terasa.
“Api ini pertama kali ditemukan oleh Sunan Kalijaga dengan cara menancapkan tongkatnya ke tanah. Oleh Empu Supo api itu selanjutnya dipakai untuk membakar keris,” kata Gunadi, sang juru kunci Mrapen.
Dari mana api itu berasal? Timbulnya api ini disebabkan karena adanya gas yang tersembur dari dalam tanah lalu terbakar di pusat semburan yang berdiameter sekitar 1,5 meter. Sumber api ini ditumpuki batu kapur agar tidak membahayakan orang lewat. Sebab , di siang hari, api ini tidak tampak.
Uniknya, pusat api bisa bergeser bila tumpukan batu dipindah. Bila api mati, cukup nyalakan korek api di atasnya. Sedetik kemudian, api menyala lagi. Dinamakan “api abadi” bukan berarti tidak pernah mati. Api itu abadi karena memang diabadikan (dirawat).
Tetapi, betulkah ada api di antara tumpukan batu itu? Spontan saya mengambil secarik kertas dan langsung melemparnya ke atas batu. Tak ayal, api langsung menyambar. Kertas itu terbakar, lalu menjadi abu.
Penduduk sekitar mengatakan, pada zaman dahulu kala, api ini memang besar. Namun, sejak 1992, api itu mulai mengecil. Telah diupayaan berbagai cara agar api membesar lagi. Tapi, hingga kini, belum membuahkan hasil.
Kemungkinan penyebab mengecilnya api antara lain karena banyak pohon tumbang di sekeliling sumber api. Akibatnya, tidak ada penyerapan air.
Mungkin juga akibat banyaknya pengeboran gas secara liar di sekitar Mrapen oleh masyarakat sekitar yang memanfaatkan gas untuk keperluan memasak. Bukan saja itu. Tertutupnya pori-pori gas oleh lapisan tanah dan makin menipisnya cadangan gas di dalam tanah juga faktor pemicu menciutnya api.
Tak jauh dari sumber api abadi itu, ada lemari kaca. Aneh, pintu lemari diikat dengan rantai besi. Setelah diamati, di dalam lemari kaca itu ternyata ada benda menyerupai umpak.
"Batu bobot" namanya. Atau, batu berat.
Konon, batu ini merupakan umpak atau landasan salah satu tiang Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Demak. Namun, oleh Sunan Kalijaga batu ini ditinggal karena memperlambat perjalanan. Sebab, saat batu itu dibawa oleh para pengikut Sunan Kalijaga, terasa sangat berat. Selanjutnya, batu ini digunakan oleh Empu Supo sebagai landasan membuat keris Kiai Sengkelat.
Batu itu bergulir dalam kondisi pecah. Sebab, pada zaman kolonial Belanda, ada yang memaksakan diri mengangkat batu itu. Karena tak kuat, batu itu langsung dijatuhkan begitu saja. Itulah sebabnya, sang juru kunci Mrapen mengikatnya dengan ijuk. Tetapi sekarang diraut dengan tali plastik.
Bobot batu ini kurang lebih 20 kilogram. Anehnya, saat diangkat, kadang beratnya bisa lebih, kadang juga kurang.
Karena keanehan itulah, banyak orang datang meminta berkah. Atau, meramal nasib dengan cara mengangkat batu itu—untuk coba mencari peruntungan. Namun, harus lewat tata cara ritual.
Pertama, minta izin sang juru kunci untuk mengantar membukakan pintu batu bobot.
Sebab, pintu itu selalu tertutup demi menjaga keamanan benda peninggalan Sunan Kalijaga. Para peziarah akan diberi petunjuk cara mengucapkan doa. Kedua, peziarah harus punya tujuan khusus ziarah (tidak sekadar coba-coba). Sebaiknya mereka juga membawa bunga talon (mawar, cempaka, kenanga) sebagai syarat ritual agar batu itu memiliki khasiat magis.
Sambil menabur bunga, peziarah harus duduk dalam posisi bersila (bagi pria), dan dua kaki ditekuk (bagi perempuan) seraya mengucapkan doa dan berserah diri kepada Sang Maha Pencipta. Lalu, batu itu diangkat. Tentu, karena kekuasaan-Nya segala sesuatu mungkin terjadi. Bila cocok maka batu akan terasa lebih ringan dari 20 kilogram. Sebaliknya, bila tidak cocok, batu akan terasa berat. Bahkan, kadang tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.
Jika batu tersebut beratnya tetap kira-kira 20 kilogram, ada beberapa kemungkinan. Mungkin, persyaratan kurang lengkap. Atau, peziarah tidak punya tujuan khusus, dan kurang konsentrasi dalam memanjatkan doa. Percaya atau tidak, terserah masing-masing individu.
Hingga kini, telah ada tujuh keturunan yang bertindak sebagai juru kunci Mrapen. Perawatan sumber api abadi ini dilakukan sejak masa Kesultanan Demak Bintoro. Terakhir, tepatnya sejak tahun 2000, Nyi Parminah bersama tujuh anaknya secara bergilir merawat area Mrapen. Bahkan, keluarga ini menjadikan Mrapen sebagai tempat wisata.
Tentu, Mrapen tak hanya dikenal karena keajaiban itu. Fakta, Mrapen merupakan saksi peristiwa bersejarah. Mulai dengan sumber pengambilan api untuk even GANEFO I (Games of the New Emerging Forcing), salah satu pesta olahraga yang pertama kali dihelat di Jawa Tengah.
Berlanjut di berbagai even Pekan Olahraga Nasional (PON). Bahkan, api itu digunakan umat Budha pada Hari Raya waisak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar