Jumat, 26 Desember 2008

Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII, Antara Persiapan dan Prestasi

Gelaran olahraga akbar se-tanah air yang bertajuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII Kalimantan Timur penuh dengan warna-warni. Di satu sisi prestasi yang disuguhkan para atlet cukup besar, namun carut marut persiapan venue yang digunakan juga mengundang kontroversi.

Sejatinya sejak 6 tahun sebelum perhelatan tuan rumah mulai berbenah. Baik itu menyiapkan infrastruktur maupun kesiapan para personelnya. Sebagai contoh venue cabang olahraga menembak yang berlokasi di Balikpapan saat dikunjungi sebulan sebulan sebelum PON belum rampung. Bahkan ada yang masih berupa kerangka.

Tanggal pelaksanaan pun juga sempat tarik ulur. Semula PON direncanakan bulan September usai Olimpiade bertepatan dengan hari olahraga nasional yang setiap 9 September. Namun, karena pada bulan tersebut adalah bulan Ramadhan, jadwal akhirnya dimajukan 6-17 Juli 2008. Dengan dimajukannya tanggal tersebut panitia semakin bekerja keras memenuhi deadline dari pemerintah.

Bahkan di detik-detik terakhir para pejabat dari Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga harus turun tangan mengawasi persiapan agar mampu memenuhi target. Deputi Pemberdayaan Bidang IPTEK dan Olahraga Hari Setiono menilai halangan utama PON Kaltim terletak di segi Sumber Daya Manusia.

“Pengetahuan dan pengalaman SDM yang ada tidak memadai. Seharusnya 6 tahun sebelum pelaksanaan semua sudah dapat diselesaikan. Selain itu pergantian Gubernur juga turut mempengaruhi persiapan,” kata Hari.

Menata sistem multievent tidaklah mudah, banyak aspek yang perlu dipersiapkan. Pada saat penentuan cabang yang seharusnya telah diputuskan dua tahun sebelum hari-H dan satu tahun setelah hasil kualifikasi malah dilakukan menjelang detik-detik terakhir pelaksanaan.
Semula diputuskan 749 nomor, namun tanpa ada pemberitahuan soal perubahan menjadi 755 nomor yang dipertandingkan. Keputusan sepihak ini diikuti pula dengan penetapan jumlah peserta yang berlaga karena alasan situasional.

Jumlah nomor yang terlalu banyak, venue yang saling berjauhan satu sama lain juga cukup menyulitkan akses para peliput untuk kesana karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Alhasil ada beberapa cabang yang tidak terekspos, begitu pula menyangkut akomodasi atlet. Banyak atlet yang satu kamar diisi dengan tiga sampai empat orang.

Proses pemindahan atlet juga semrawut. “Proses pemindahan atlet idealnya ditata dua tahun sebelumnya. Namun banyak juga yang masih berantakan. Akomodasi yang ditanggung juga ternyata tidak sepenuhnya ditanggung panitia sehingga pemerintah harus turun tangan,” papar Hari.

Di sisi lain PON sukses dari segi prestasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya torehan rekor yang dibukukan para atlet. Venue yang dibangun juga menjadi aset daerah untuk menggerakan olahraga. Tuan rumah juga sukses menaikan peringkatnya menjadi tiga besar dari semula yang ditargetkan, yakni lima besar.

Hasil ini juga membuat daerah lain seperti Jatim, dan DKI harus waspada. Pasalnya baru pertama kali dalam sejarah Provinsi di luar Pulau Jawa mampu menduduki posisi tiga besar dengan raihan 116 emas, 110 perak, dan 115 perunggu di atas Jabar. Peringkat tersebut sempat mengundang protes karena banyaknya anggapan bahwa atlet tuan rumah lebih diuntungkan.

Kesuksesan ini juga semakin memacu Kaltim untuk memberdayakan atletnya. Jangan hanya mengandalkan pembelian atlet untuk mendongkrak prestasi. Pembatasan usia perlu dilakukan untuk mencegah pembelian atlet secara besar-besaran, karena di atas usia tersebut bisa mengikuti ajang single event.

Ajang ini juga turut mempengaruhi pendapatan ekonomi rakyatnya melalui pariwisata, dan perdagangan dari hasil penjualan souvenir yang dijajakan. Namun tidak dapat dipungkiri Kaltim memberikan fasilitas kendaraan yang cukup tanpa perlu membayar, karena ditanggung sepenuhnya oleh mereka.

Dengan plus minus persiapan, dan prestasi yang ditorehkan tuan rumah PON selanjutnya Riau perlu lebih berbenah. Wacana pembagian PON di dua daerah berdasarkan kategori cabang Olympic dan non Olympic tengah menunggu keputusan bersama KONI dan Kemenegpora.

Jumlah dan nomor cabang olahraga berikut venue pertandingan harus benar-benar siap sehingga efektif dari segi dana efektif pula di segi prestasi yang ditorehkan. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari PON Kaltim.

Bulung Buni dan Tongkol Bakar di Serangan

SENGATAN matahari di Pulau Serangan cukup membakar kulit hari itu. Panas cukup menggigit di area 400 hektare yang akan dijadikan sarana reklamasi pantai di Denpasar Selatan itu.



Pemandangan paling khas ketika datang ke sini adalah jajaran rumput laut yang sedang dijemur. Meski terlihat lebih mirip alga, rumput laut ini diolah

menjadi makanan sehat dan menyegarkan. Satu menu menarik dicicipi di Serangan adalah pulung buni.

Makanan ini diolha dari rumput laut. Pembuatannya terhitung mudah. Rumput laut dicampur parutan kelapa dan beberapa bumbu lalu dicampur. Bumbu yang dimasukkan antara lain sereh, jeruk limau, garam, gula merah, potongan cabai, dan sedikit air.



Semua bahan diaduk menjadi satu. Setelah menyatu, siap dinikmati.

Hmmm....rasanya asam, dan pedas. Begitu segar. Harganya pun relatif terjangkau per porsi hanya Rp3.000. Bisa juga jika ingin pesan lebih banyak.

"Ini makanan khas Bali. Biasanya bulung buni disajikan pelengkap nasi atau sebagai sayur. Jika ditambah ikan bakar rasanya makin nikmat. Apalagi, jika perut sedang lapar-laparnya," kata Dewi, seorang penjual pulung buni.



Tak hanya segar, bulung buni kaya serat dan protein. Tentu tak cukup hanya mencoba pulung buni. Di sana ada juga ikan bakar. Rasanya enak, dan gurih. Harganya? Cukup dengan uang Rp8.000 sudah dapat menikmati seekor ikan tongkol berukuran sedang. Bahkan, jika ingin hemat bisa menikmati menu

ini berdua.
Wow.


Jadi, jika berkunjung ke Pulau Serangan, tak hanya melihat pemandangan laut nan indah diterpa hembusan angin. Beragam makanan khas Bali yang disajikan sangat menggugah selera.

"Sehari-hari makanan ini baru bisa dinikmati di Pasar Serangan, tak jauh lokasinya dari Pulau Serangan," ucap Dewi. Delia Mustikasari

Ada Jejak Kalijaga di Mrapen

API obor acap hadir dalam rangkaian acara pembukaan sebuah momen. Tanpa obor, even sekelas olimpiade dirasa tak lengkap. Salah satu sumber api abadi yang digunakan dalam perhelatan Asian Beach Games (ABG) I di Bali belum lama ini misalnya berasal dari Desa Mrapen.

Mrapen adalah nama dusun seluas sekitar 8.600 meter persegi. Terletak di pinggir jalan raya Semarang-Purwodadi, 36 km dari Semarang dan termasuk wilayah Desa Manggarmas, Kecamatan, Grobogan, Jawa Tengah.

Menuju Mrapen, saya harus melewati jalan berliku. Setelah menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam dari Semarang, bersama rombongan akhirnya tibalah saya di dusun itu. Suasana ramai. Umbul-umbul ABG bertajuk Inspire The World tampak semarak di sisi kiri dan kanan jalan.

Warga sekitar berkerumun.

Ada sebuah kolam kecil berwarna kuning. Airnya tampak meletup-letup seakan mendidih. Namun, setelah saya coba mencelupkan tangan ke dalamnya, airnyata ternyata tak terasa panas sama sekali. Sebaliknya, sejuk.

Tak jauh dari kolam kecil itu ada setumpuk batu. Batu itulah sumber api abadi. Makin dekat, makin panas terasa.

“Api ini pertama kali ditemukan oleh Sunan Kalijaga dengan cara menancapkan tongkatnya ke tanah. Oleh Empu Supo api itu selanjutnya dipakai untuk membakar keris,” kata Gunadi, sang juru kunci Mrapen.



Dari mana api itu berasal? Timbulnya api ini disebabkan karena adanya gas yang tersembur dari dalam tanah lalu terbakar di pusat semburan yang berdiameter sekitar 1,5 meter. Sumber api ini ditumpuki batu kapur agar tidak membahayakan orang lewat. Sebab , di siang hari, api ini tidak tampak.



Uniknya, pusat api bisa bergeser bila tumpukan batu dipindah. Bila api mati, cukup nyalakan korek api di atasnya. Sedetik kemudian, api menyala lagi. Dinamakan “api abadi” bukan berarti tidak pernah mati. Api itu abadi karena memang diabadikan (dirawat).



Tetapi, betulkah ada api di antara tumpukan batu itu? Spontan saya mengambil secarik kertas dan langsung melemparnya ke atas batu. Tak ayal, api langsung menyambar. Kertas itu terbakar, lalu menjadi abu.



Penduduk sekitar mengatakan, pada zaman dahulu kala, api ini memang besar. Namun, sejak 1992, api itu mulai mengecil. Telah diupayaan berbagai cara agar api membesar lagi. Tapi, hingga kini, belum membuahkan hasil.

Kemungkinan penyebab mengecilnya api antara lain karena banyak pohon tumbang di sekeliling sumber api. Akibatnya, tidak ada penyerapan air.

Mungkin juga akibat banyaknya pengeboran gas secara liar di sekitar Mrapen oleh masyarakat sekitar yang memanfaatkan gas untuk keperluan memasak. Bukan saja itu. Tertutupnya pori-pori gas oleh lapisan tanah dan makin menipisnya cadangan gas di dalam tanah juga faktor pemicu menciutnya api.

Tak jauh dari sumber api abadi itu, ada lemari kaca. Aneh, pintu lemari diikat dengan rantai besi. Setelah diamati, di dalam lemari kaca itu ternyata ada benda menyerupai umpak.

"Batu bobot" namanya. Atau, batu berat.

Konon, batu ini merupakan umpak atau landasan salah satu tiang Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Demak. Namun, oleh Sunan Kalijaga batu ini ditinggal karena memperlambat perjalanan. Sebab, saat batu itu dibawa oleh para pengikut Sunan Kalijaga, terasa sangat berat. Selanjutnya, batu ini digunakan oleh Empu Supo sebagai landasan membuat keris Kiai Sengkelat.

Batu itu bergulir dalam kondisi pecah. Sebab, pada zaman kolonial Belanda, ada yang memaksakan diri mengangkat batu itu. Karena tak kuat, batu itu langsung dijatuhkan begitu saja. Itulah sebabnya, sang juru kunci Mrapen mengikatnya dengan ijuk. Tetapi sekarang diraut dengan tali plastik.

Bobot batu ini kurang lebih 20 kilogram. Anehnya, saat diangkat, kadang beratnya bisa lebih, kadang juga kurang.

Karena keanehan itulah, banyak orang datang meminta berkah. Atau, meramal nasib dengan cara mengangkat batu itu—untuk coba mencari peruntungan. Namun, harus lewat tata cara ritual.

Pertama, minta izin sang juru kunci untuk mengantar membukakan pintu batu bobot.

Sebab, pintu itu selalu tertutup demi menjaga keamanan benda peninggalan Sunan Kalijaga. Para peziarah akan diberi petunjuk cara mengucapkan doa. Kedua, peziarah harus punya tujuan khusus ziarah (tidak sekadar coba-coba). Sebaiknya mereka juga membawa bunga talon (mawar, cempaka, kenanga) sebagai syarat ritual agar batu itu memiliki khasiat magis.



Sambil menabur bunga, peziarah harus duduk dalam posisi bersila (bagi pria), dan dua kaki ditekuk (bagi perempuan) seraya mengucapkan doa dan berserah diri kepada Sang Maha Pencipta. Lalu, batu itu diangkat. Tentu, karena kekuasaan-Nya segala sesuatu mungkin terjadi. Bila cocok maka batu akan terasa lebih ringan dari 20 kilogram. Sebaliknya, bila tidak cocok, batu akan terasa berat. Bahkan, kadang tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.



Jika batu tersebut beratnya tetap kira-kira 20 kilogram, ada beberapa kemungkinan. Mungkin, persyaratan kurang lengkap. Atau, peziarah tidak punya tujuan khusus, dan kurang konsentrasi dalam memanjatkan doa. Percaya atau tidak, terserah masing-masing individu.



Hingga kini, telah ada tujuh keturunan yang bertindak sebagai juru kunci Mrapen. Perawatan sumber api abadi ini dilakukan sejak masa Kesultanan Demak Bintoro. Terakhir, tepatnya sejak tahun 2000, Nyi Parminah bersama tujuh anaknya secara bergilir merawat area Mrapen. Bahkan, keluarga ini menjadikan Mrapen sebagai tempat wisata.



Tentu, Mrapen tak hanya dikenal karena keajaiban itu. Fakta, Mrapen merupakan saksi peristiwa bersejarah. Mulai dengan sumber pengambilan api untuk even GANEFO I (Games of the New Emerging Forcing), salah satu pesta olahraga yang pertama kali dihelat di Jawa Tengah.

Berlanjut di berbagai even Pekan Olahraga Nasional (PON). Bahkan, api itu digunakan umat Budha pada Hari Raya waisak.

Rencana, api Mrapen hendak dijadikan sumber api utama dalam setiap ajang multievent Asian Beach Games (ABG). Indonesia mendapat kehormatan menjadi salah satu tempat perdana pengambilan api sebelum diteruskan ke berbagai negara se-Asia.Delia Mustikasari