Selasa, 30 Juni 2009

Ketika India Mulai Bangkit

INDIA kembali menggeliat menuju tangga teratas bulu tangkis dunia. Terakhir kali negara berpenduduk terbesar kedua sejagat itu diharumkan namanya oleh Prakash Padukone ketika menjadi juara tunggal putra All England pada tahun 1980 silam.

Kini India kembali melahirkan juara baru untuk turnamen yang levelnya juga sekelas dengan All England. Pemain terbaik mereka di sektor putri, Saina Nehwal membuka mata dunia ketika berhasil menembus jajaran 10 besar dunia.

Torehan itu semakin mengkilap ketika dia membuat kejutan dengan merubuhkan tembok China, Wang Lin pada babak final Djarum Indonesia Terbuka Super Series di Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Minggu (21/6) lalu.

Menariknya pencapaian tersebut hanya perlu waktu kurang dari setahun. Kesuksesan ini juga tak lepas dari polesan salah satu putra terbaik Indonesia Atiek Jauhari. Ya, terhitung usai Olimpiade 2008, mantan pemain sekaligus pelatih timnas Indonesia ini mulai menjadi pelatih bagi Sania yang masih berusia 19 tahun.

“Saya melatih Saina ketika dia masih masuk jajaran 15 besar dunia tepatnya tahun 2008. Sekarang dia sudah masuk peringkat 10 besar dunia, bahkan bukan tidak mungkin masuk ke peringkat lima besar dunia,” kata Atiek Jauhari.

Faktor pelatih juga tidak akan sejalan jika tidak didukung dari ketekunan si pemain itu sendiri. Saina tergolong atlet yang sangat disiplin dan patuh terhadap instruksi pelatih. Sehari dia menjalani latihan dua kali sehari selama 7,5 jam.

Berbeda dengan Indonesia, pemain India tidak sepenuhnya menghabiskan waktu untuk berlatih bulu tangkis. Olahraga ini tidak termasuk dalam prioritas pembinaan cabang di India dan kalah populer dengan tenis.

“Pemain India lebih mengutamakan pendidikan. Jika turnamen berbarengan dengan kesibukan sekolah, tentunya mereka lebih memilih absen. Jika perlu membawa modul ke tempat pertandingan dengan mendatangkan guru,” ujar Atiek.

Satu hal yang menarik, menurut Atiek, di India pelatih sudah dianggap seperti “dewa”. Selain menghormati orang tua, mereka juga hormat terhadap pelatih.

Masih langkanya atle bulu tangkis asal negeri ini juga disebabkan cabang yang lahir di India itu masih dikategorikan sebagai cabang elite. Hanya kalangan mampu saja yang berkesempatan menekuni olahraga ini. Jadi, tak heran jika kondisi di atas bisa terbentuk.

Selain ditangani Atiek, Saina juga melakoni latihan fisik di bawah bimbingan Kiran Challagundla. “Dalam latihan Saina, kami memasukkan menu peningkatan endurance, power, refleks, dan keseimbangan. Dia sangat disiplin menjalani latihan tersebut,” ujarnya.

Bagaimana dengan pemain Indonesia seperti Maria Kristin Yulianti? Meski sempat meraih medali perunggu Olimpiade 2008, prestasinya semakin menurun. Bahkan, bayang-bayang cedera masih membalutnya. Sedangkan atlet pelapis seperti Linda Weni Fanetri kemampuannya masih belum setara. Masih membutuhkan banyak polesan.

Mengutip pernyataan Atiek, Indonesia sebenarnya memiliki bakat luar biasa di cabang ini. Sekarang tinggal bagimana memaksimalkan potensi tersebut agar terus terjaga.
Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) dan juga pemain. Jangan sampai kalah di negeri sendiri, meski butuh waktu cukup lama untuk kembali membangun generasi bulu tangkis yang mumpuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar